kepemimpinan. Dulu, khususnya zaman sahabat, mereka saling bertolak-tolakan untuk menjadi pemimpin.
Abu Bakar Shiddiq diriwayatkan, sebelum diminta menjadi
Khalifah menggantikan Rasulullah mengusulkan agar Umar yang menjadi Khalifah.
Alasan beliau karena Umar adalah seorang yang kuat.
Tetapi Umar menolak, dengan mengatakan, kekuatanku akan
berfungsi dengan keutamaan yang ada padamu. Lalu Umar membai’ah Abu Bakar dan
diikuti oleh sahabat-sahabat lain dari Muhajirin dan Anshor.
Dari dialog ini dapat kita pahami bahwa generasi awal Islam,
yang terbaik itu, memandang jabatan seperti momok yang menakutkan. Mereka
berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin. Tapi di zaman ini,
keadaannya sudah berubah jauh.
Orang saling berlomba untuk menjadi pemimpin. Jabatan sudah
menjadi tujuan hidup orang banyak. Semua tokoh yang sedang bertarung
mengatakan, jika diminta oleh rakyat, saya siap maju. Inilah basa basi mereka.
Entah rakyat mana yang meminta dia maju jadi pemimpin. Sebuah kedustaan yang
dipakai untuk menutupi ambisi menjadi pemimpin.
Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin,
dikarenakan mereka mengetahui konsekuensi dan resiko menjadi pemimpin. Mereka
mendengar hadits-hadits Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam tentang tanggung jawab pemimpin di dunia dan
di akhirat. "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung jawabannya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya…".
Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam memprediksi hiruk
pikuk di akhir zaman soal kekuasaan dan menjelaskan hakikat dari kekuasaan itu.
Beliau bersabda seperti dilaporkan oleh Abu Hurairah :
“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal
kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di
ujung." (Riwayat Imam Bukhori).
Juga Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memperingatkan mereka yang sedang
berkuasa yang lari dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan
tidak bekerja untuk kepentingan rakyatnya, dengan sabda beliau : “Siapa yang
diberikan Allah kekuasaan mengurus urusan kaum Muslimin, kemudian ia tidak
melayani mereka dan keperluan mereka, maka Allah tidak akan memenuhi
kebutuhannya.” (Riwayat Abu Daud).
Dan dalam riwayat at-Tirmizi disebutkan : “Tidak ada seorang
pemimpin yang menutup pintunya dari orang-orang yang memerlukannya dan orang
fakir miskin, melainkan Allah juga akan menutup pintu langit dari kebutuhannya
dan kemiskinannya.”
Hadits-hadits yang ada lebih banyak menggambarkan pahitnya
menjadi pemimpin ketimbang manisnya. Sedang mereka adalah generasi yang lebih
mengutamakan kesenangan ukhrowi daripada kenikmatan duniawi. Itulah yang dapat
ditangkap dari keberatan mereka.
Sementara orang yang hidup di zaman ini berfikir terbalik.
Yang mereka kejar adalah kesenangan duniawi yang didapat melalui jabatan dan
kekuasaan. Mereka lupa dengan pertanggung jawaban di hari Kiamat itu. Mereka
tidak segan-segan bermanuver dan merekayasa untuk mendapatkan jabatan dan
kekuasaan itu.
Kadangkala cara yang dipakai sudah hampir sama dengan cara
kaum kuffar atau kaum sekuler, menghancurkan nilai-nilai akhlak Islam yang
sangat fundamental; mencari dan mengumpulkan kelemahan lawan politik dan pada
waktunya aib-aib itu dibeberkan untuk mengganjal jalan kompetitornya.
Ada pula yang mengumpulkan dana dengan cara-cara yang tak
pantas dan tak bermoral. Mendukung calon kepala daerah dalam pilkada dari
partai mana saja, asal dengan imbalan materi dengan menyerahkan uang yang
besar. Terserah orang itu menang atau kalah nanti, tak begitu penting, yang
penting uangnya sudah didapat.
Para pemburu kekuasaan itu beralasan, jika kepemimpinan itu
tidak direbut, maka ia akan dipegang oleh orang-orang Fasik dan tangan tak
Amanah, yang akan menyebarkan kemungkaran dan maksiat. Tapi jika ia dipegang
oleh orang soleh dan beriman, akan dapat mewujudkan kemaslahatan bagi
masyarakat luas. Alasan ini memang indah kedengaran.
Namun kenyataannya, semua yang berebut jabatan mengklaim
bahwa ia lebih baik dari yang sedang memimpin. Dan tidak ada yang dapat memberi
jaminan bahwa jika ia memimpin, keadaan akan menjadi lebih baik.
Bahkan rata-rata orang pandai berteriak sebelum menjadi
pemimpin, tetapi setelah masuk ke dalam sistem, mereka tak bisa berbuat banyak.
Akhirnya mengikuti gaya orang sekuler. Yang mencoba bertahan dengan idealisme,
mendapat serangan dan kecaman dari berbagai pihak, lalu akhirnya menyerah
kepada keadaan.
Berapa banyak mantan aktifis mahasiswa yang sebelumnya
kritis dan berdemo menentang rezim masa lalu, tetapi sesudah masuk ke dalam
sistem, tidak bisa merubah apa-apa, bahkan menggunakan cara-cara yang dipakai
oleh rezim sebelumnya, memanfaatkan jabatan untuk menimbun uang dan kekayaan.
Kemudian merekapun menyiapkan alasan-alasan pembelaan;
antara lain, merubah sesuatu tak bisa sekejap mata, tetapi harus bertahap,
menilai sesuatu tak boleh hitam-putih, apa yang ada sekarang sudah lebih baik
dari masa sebelumnya.
Keadaan seperti ini semakin memperkuat keyakinan sebagian
orang, bahwa memperbaiki sistem tidak harus masuk terjun ke dalam sistem itu.
Bahkan tak mungkin melakukan perubahan selama kita ada di dalam. Sebuah logika
terbalik dari slogan yang digembar gemborkan pihak lain, yang kalau mau merubah
sistem, harus terjun ke dalam sistem itu. Ternyata kebanyakan yang pernah
terjun ke dalam sistem, tidak mampu merubah kerusakan yang ada. Bukan sekedar
tak mampu membersihkan, justru ikut terkena kotoran.
Allohul musta'an...
Allohul musta'an...
______________________________________________
DR.Daud Rasyd
Dikutip dari artikel http://www.eramuslim.com dengan
perubahan judul
Terima kasih telah membaca artikel tentang Politik Yang Membutakan Hati di blog TEGAK DI ATAS SUNNAH jika anda ingin menyebar-luaskan artikel ini dimohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.
1 komentar :
Trus sikap kita gimana? Membiarkan negara ini diimami oleh orang yang bukan saleh? Bukankah ikhwah salafi di mesir juga masuk dalam kancah politik?
Balas