Para Calo atau makelar banyak dijumpai di tengah-tengah
masyarakat, mereka mampu meraup pundi-halal atau haram? bagaimana cara
menentukan upah bagi mereka? Dan apa saja yang dilarang dalam dunia percaloaan
tersebut? Tulisan di bawah ini menjelaskannya secara global
pundi kekayaan lewat profesi ini. Selama ini, terkesan di masyarakat bahwa calo ketika bekerja hanya mengejar keuntungan pribadi, walau kadang harus berbohong kepada konsumen. Bagaimana sebenarnya Islam memandang pekerjaan ini,
pundi kekayaan lewat profesi ini. Selama ini, terkesan di masyarakat bahwa calo ketika bekerja hanya mengejar keuntungan pribadi, walau kadang harus berbohong kepada konsumen. Bagaimana sebenarnya Islam memandang pekerjaan ini,
Pengertian Calo
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Calo adalah
orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu
berdasarkan upah.
Sedangkan makelar adalah perantara perdagangan
antara pembeli dan penjual, atau orang yang menjualkan barang atau mencarikan
pembeli. Bisa juga diartikan sebagai orang atau badan hukum yang berjual beli
sekuritas atau barang untuk orang lain atas dasar komisi. Dalam bahasa Arab,
calo sering disebut dengan simsarah.
Dalil Kebolehannya
Calo dibolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu.
Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang beriman sempurnakanlah akad-akad (
janji-janji) kalian “ (Qs. al-Maidah : 1)
Pada ayat di atas, Allah memerintahkan orang-orang
beriman untuk menyempurnakan akad –akad, termasuk di dalamnya menyempurnakan
perjanjian seorang pedagang dengan calo.
Kedua : Hadist
riwayat Qais bin Abi Gorzah, bahwasanya ia berkata :
“Kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
disebut dengan “samasirah“ (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama
yang lebih baik dari calo, beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya
jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah
(palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi,
Nasai dan Ibnu Majah)
Hadist di atas menunjukkan bahwa pekerjaan calo sudah ada
sejak masa Rasulullahshallallahu ‘alahi wassalam, dan beliau tidak melarangnya,
bahkan menyebut mereka sebagai pedagang.
Ketiga: Calo adalah pekerjaan yang dibutuhkan
masyarakat, karena ada sebagian masyarakat yang sibuk, sehingga tidak bisa
mencari sendiri barang yang dibutuhkan, maka dia memerlukan calo untuk
mencarikannya. Sebaliknya, sebagian masyarakat yang lain, ada yang mempunyai
barang dagangan, tetapi dia tidak tahu cara menjualnya, maka dia membutuhkan
calo untuk memasarkan dan menjualkan barangnya
.
Cara Menentukan Upah Calo
Para ulama membolehkan seorang calo untuk mengambil upah
dari pedagang atau pembeli atau dari keduanya. Walaupun sebagian ulama
mengatakan bahwa upah calo diambil dari pedagang, dan ini berdasarkan kebiasaan
di pasar pada waktu itu. Berkata Imam Nawawi : “Upah calo dibayar oleh
pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya.”
Apakah Upah Calo Boleh Dalam Bentuk Prosentasi ?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat berdasarkan
perbedaan mereka dalam memandang status upah calo ini apakah termasuk dalam
akad Ju’alah (semacam sayembara berhadiah), atau akad ijarah (sewa-menyewa)
dalam hal ini menyewa tenaga calo, atau akad wakalah(perwakilan)?
Pendapat Pertama : Mayoritas ulama menyatakan
bahwa upah calo harus jelas nominalnya, seperti Rp. 500.000,- atau Rp.
1.000.000,- dan tidak boleh dalam bentuk prosentasi, seperti dapat 10 %
dari hasil penjualan.
Alasan mereka, bahwa upah calo masuk dalam katagori Ju’alah,
dan syarat Ju’alah harus jelas hadiah atau upahnya. Hal ini berdasarkan
hadist Abu Sa’id al-Khudri yang menyatakan :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang
seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya“ (HR.
Ahmad)
Pendapat Kedua : Madzhab Hanabilah membolehkan
seseorang memberikan upah kepada calo dalam bentuk prosentase. Berkata
al-Bahuti di dalam Kasyaf al-Qina’ (11/ 382) :
“ Kalau seseorang memberikan hamba sahayanya atau
kendaraannya kepada orang yang bisa mempekerjakannya dengan imbalan upah
dari sebagian hasilnya, maka dibolehkan. Begitu juga dibolehkan jika dia
memberikan baju kepada yang bisa menjahitnya, atau kain kepada yang bisa
menenunnya dengan imbalan upah dari sebagian keuntungannya.”
Mereka berdalil dengan hadist Amru bin ‘Auf bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalambersabda :
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا حَرَّمَ
حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Seorang muslim itu terikat kepada syarat yang telah
disepakatinya, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau
menghalalkan sesuatu yang haram” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dan berkata Tirmidzi : Hadist ini hasan
shohih)
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Abbas : “Tidak
mengapa seseorang berkata kepada temannya,: “Jual-lah baju ini, bila kamu bisa
menjual dengan harga lebih dari sekian dan sekian, maka itu untukmu”
Begitu juga dikuatkan dengan perkataan Ibnu Sirrin : “Bila
seseorang berkata kepada temannya : “Jual-lah barang ini dengan harga sekian,
jika ada keuntungan, maka itu untukmu atau untuk kita berdua, maka hal itu
dibolehkan.”
Calo Yang Dilarang
Adapun calo yang dilarang dalam Islam adalah sebagai berikut
:
Pertama : Jika dia berbuat sewenang-wenang
kepada konsumen dengan cara menindas, mengancam, dan mengintimidasi.
Sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian calo tanah yang akan
dibebaskan dan ticket bis pada musim lebaran.
Kedua : Berbuat curang dan tidak jujur,
umpamanya dengan tidak memberikan informasi yang sesungguhnya baik kepada
penjual maupun pembeli yang menggunakan jasanya.
Ketiga : Calo yang memonopoli suatu barang yang
sangat dibutuhkan masyarakat banyak, dan menaikkan harga lebih tinggi dari
harga aslinya, seperti yang dilakukan oleh calo-calo ticket kereta api
pada musim liburan dan lebaran.
Keempat : Pegawai negeri maupun swasta yang
sudah mendapatkan gaji tetap dari kantornya, kemudian mendapatkan tugas
melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk suatu proyek dan
mendapatkan uang fee karenanya. Maka uang fee tersebut haram dan termasuk uang
grativikasi yang dilarang dalam Islam dan dalam hukum positif di Indonesia.
Kelima : Para pengusaha kota yang mendatangi
pedagang dan petani di desa-desa dan membeli barang mereka dengan harga murah
dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka terhadap harga-harga di kota, dan
kadang disertai dengan tekanan dan pemberian informasi yang menyesatkan.
Wallahu A’lam
Terima kasih telah membaca artikel tentang Halal Haram Praktek Calo/Makelar di blog TEGAK DI ATAS SUNNAH jika anda ingin menyebar-luaskan artikel ini dimohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.