Seorang habib berkata saat wawancara dengan wartawan di
kediaman uje rahimahulloh bahwa beliau
bertemu uje di dalam mimpi , uje mengenakan baju yang sangat mewah dan mengendarai kuda berwarna hitam dan uje berpesan :
bertemu uje di dalam mimpi , uje mengenakan baju yang sangat mewah dan mengendarai kuda berwarna hitam dan uje berpesan :
"Habib tolong sampaikan kepada keluarga ,sahabat ,dan orang-orang yang
mencintai saya, bahwasanya saya telah duduk bersama Rosulullah , dan sampaikan
terima kasih kepada semua orang yang telah mendo'akan saya “ [https://www.facebook.com/KumpulanFotoUlamaDanHabaib?ref=stream&hc_location=timeline]
Ucapan di atas kontan mendatangkan reaksi dan kontroversi,
pro kontra pun bermunculan, namun baiklah, dalam hal ini kita kembalikan saja
dalam timbangan syariat, bagaimana kedudukan mimpi dalam Islam.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ
“Barangsiapa menyatakan sebuah mimpi yang dia tidak
bermimpi dengannya maka dia akan dibebani untuk membuat simpul dengan dua helai
rambut padahal dia tak akan bisa melakukannya” (HR. Al-Bukhari no. 7042)
Maksud membuat simpul dengan dua helai rambut adalah: Pada
hari kiamat dia akan dibebani untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin agar
siksaannya bertambah lama karena dia tidak akan sanggup mengerjakannya.
Mimpi mempunyai kedudukan yang agung dalam Islam, bagaimana
tidak padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menjadikannya sebagai
isyarat akan datangnya kabar gembira. Bahkan dalam hadits yang lain beliau
shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنْ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ
وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
“Mimpi baik yang berasal dari seorang yang saleh adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
“Mimpi baik yang berasal dari seorang yang saleh adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menjelaskan hadits yang semakna dengan di atas, Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah berkata, ” Makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Mimpi baik yang berasal dari seorang yang saleh adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian.”
Adalah apa yang diimpikan seorang mukmin akan terjadi dengan
benar, karena mimpi tersebut merupakan permisalan yang dibuat bagi orang yang
bermimpi. Terkadang mimpi itu adalah berita tentang sesuatu yang sedang atau
akan terjadi. Kemudian sesuatu itu benar terjadi persis seperti yang diimpikan.
Dengan demikian, dari sisi ini mimpi diibaratkan seperti nubuwwah dalam
kebenaran apa yang ditunjukkannya, walaupun mimpi berbeda dengan nubuwwah.
Karena itulah mimpi dikatakan satu dari 46 bagian nubuwwah. Kenapa disebut 46
bagian, karena hal ini termasuk perkara tauqifiyyah (yang ditetapkan hanya
dengan wahyu). Tidak ada yang mengetahui hikmahnya sebagaimana halnya
bilangan-bilangan rakaat dalam shalat.
Adapun ciri orang yang benar mimpinya adalah seorang mukmin
yang jujur, bila memang mimpinya itu mimpi yang baik/bagus. Jika seseorang
dikenal jujur ucapannya ketika terjaga, ia memiliki iman dan takwa, maka secara
umum mimpinya benar. Karena itulah hadits ini pada sebagian riwayatnya datang
dengan menyebutkan adanya syarat, yaitu mimpi yang baik/bagus dari seorang yang
shalih. Dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَصْدَقُهُمْ رُؤْيًا أَصْدَقُهُمْ حَدِيْثًا
“Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya.”
“Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya.”
Akan tetapi perlu diketahui di sini bahwa mimpi yang dilihat
seseorang dalam tidurnya itu ada tiga macam:
Pertama: Mimpi yang benar lagi baik. Inilah mimpi
yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu dari 46
bagian kenabian. Secara umum, mimpinya itu tidak terjadi di alam nyata. Namun
terkadang pula terjadi persis seperti yang dilihat dalam mimpi. Terkadang
terjadi di alam nyata sebagai penafsiran dari apa yang dilihat dalam mimpi.
Dalam mimpi ia melihat satu permisalan kemudian ta’bir dari mimpi itu terjadi
di alam nyata namun tidak mirip betul. Contohnya seperti mimpi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam beberapa waktu sebelum terjadi perang Uhud. Beliau mimpi di
pedang beliau ada rekahan/retak dan melihat seekor sapi betina disembelih.
Ternyata retak pada pedang beliau tersebut maksudnya adalah paman beliau Hamzah
radhiyallahu ‘anhu akan gugur sebagai syahid. Karena kabilah (kerabat/keluarga)
seseorang kedudukannya seperti pedangnya dalam pembelaan yang mereka berikan
berikut dukungan dan pertolongan mereka terhadap dirinya. Sementara sapi betina
yang disembelih maksudnya adalah beberapa sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum
akan gugur sebagai syuhada. Karena pada sapi betina ada kebaikan yang banyak,
demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka adalah orang-orang yang
berilmu, memberi manfaat bagi para hamba dan memiliki amal-amal shalih.
Kedua: Mimpi yang dilihat seseorang dalam tidurnya
sebagai cermin dari keinginannya atau dari apa yang terjadi pada dirinya dalam
hidupnya. Karena kebanyakan manusia mengimpikan dalam tidurnya apa yang menjadi
bisikan hatinya atau apa yang memenuhi pikirannya ketika masih terjaga (belum
tidur) dan apa yang berlangsung pada dirinya saat terjaga (tidak tidur). Mimpi yang
seperti ini tidak ada hukumnya.
Ketiga: Gangguan dari setan yang bermaksud
menakut-nakuti seorang manusia, karena setan dapat menggambarkan dalam tidur
seseorang perkara yang menakutkannya, baik berkaitan dengan dirinya, harta,
keluarga, atau masyarakatnya. Hal ini dikarenakan setan memang gemar membuat
sedih kaum mukminin sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا
وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu dari setan, dengan tujuan agar orang-orang beriman itu bersedih hati, padahal pembicaraan itu tidaklah memberi mudarat sedikitpun kepada mereka kecuali dengan izin Allah ….” (Al-Mujadilah: 10)
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu dari setan, dengan tujuan agar orang-orang beriman itu bersedih hati, padahal pembicaraan itu tidaklah memberi mudarat sedikitpun kepada mereka kecuali dengan izin Allah ….” (Al-Mujadilah: 10)
Maka dari penjelasan di atas kita bisa melihat bahwa mimpi
sekalipun yang baik dan berasal dari Allah maka itu hanya bersifat membawa
kabar gembira kepada sang pemilik mimpi atau orang yang berada di sekitarnya.
Karenanya mimpi tidaklah dapat dijadikan sebagai patokan syariat. Dalam artian
dengan mimpi itu seseorang tidak boleh menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal, mengamalkan sebuah ibadah yang baru maupun
meninggalkan suatu ibadah yang sudah pasti pensyariatannya. Karena hal itu
berarti menjadikan mimpinya sebagai pembuat syariat, padahal syariat sudah baku
dengan wafatnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, tidak akan mungkin
berubah dan tidak akan ada yang diganti. Karenanya siapa saja yang mengadakan
perubahan atau penambahan dalam syariat Islam dengan beralasan dia menerima hal
itu dalam mimpi ketika dia bertemu Nabi shallallahu alaihi wasallam maka
sungguh dia adalah orang yang tertipu dengan setan dan apa yang dia lihat di
dalam mimpinya pastilah bukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
_______________________________
Pembahasan tentang mimpi mengutip dari
http://al-atsariyyah.com/kedudukan-mimpi-di-dalam-islam.html
Terima kasih telah membaca artikel tentang Mimpi Sang Habib di blog TEGAK DI ATAS SUNNAH jika anda ingin menyebar-luaskan artikel ini dimohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.